Perempuan Bertato Dari NTT Jadi Mesin Penggerak Literasi Di Pelosok Tanah Air Indonesia

 

Foto: Trifosa Evira Manek, Koordinator Buku Bagi NTT Regional Jogja
Pegiat literasi adalah individu atau kelompok orang yang secara sukarela mau mengelola gerakan literasi di keluarga, satuan pendidikan dan di masyarakat.

Gerakan literasi adalah sebuah gerakan kepedulian dalam upaya untuk menumbuhkan semangat budi pekerti yang bertujuan agar memiliki budaya membaca dan menulis sepanjang hayat.

Adalah Trifosa Evira D. Manek, Perempuan berdarah Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang sudah merantau belasan tahun di kota pelajar, kota budaya, kota wisata hingga kota perjuangan Jogjakarta boleh dibilang patut menjadi inspirasi anak muda NTT dalam bidang literasi.

Kecintaannya terhadap dunia literasi sejak kecil mebuat wanita hitam manis ini aktif membangun semangat gerakan literasi di Indonesia sejak tahun 2010.

Disebut pegiat literasi NTT, karena ia bergerak dan mendapat kepercayaan sebagai Koordinator Buku Bagi NTT Regional Jogja, Founder Safari Literasi NTT, Omah Kreatif Jogja dan juga salah satu perempuan Tato Indonesia, adalah berkat kegigihannya dalam semangat suka dan rela membangun semangat anak bangsa untuk cinta terhadap literasi.

Kepada media, Trifosa yang akrab disapa menceritakan pengalaman berharganya kalau ia suka literasi sejak kecil. Kalau aktif kerja sosial dibidang literasi sejak tahun 2010. Sebagai koordinator Buku Bagi NTT, bersama rekan-rekan seperjuangan sudah mendonasikan buku-buku bacaan secara gratis hampir ke semua pelosok NTT, dan juga ke Kalimantan dan Papua.

Sementara kalau Founder Safari Literasi itu mulai berjalan tahun 2018. Ini merupakan perjalanan awal. Kalau hanya donasi buku itu berarti tanpa perjalanan, tapi kalau safari Literasi itu perjalanan ke seluruh NTT. Saya penggagas Safari Literasi dan dibantu oleh teman-teman di Buku Bagi NTT dan teman-teman pencinta alam di beberapa kabupaten.

Selain suka literasi, Trifosa juga pegiat seni
Untuk Safari Literasi itu saya geraknya sendiri, tapi kita juga punya relawan on the spot. Relawan on the spot itu teman-teman lokal atau pegiat literasi lokal yang saya libatkan ketika saya mau kirim sesuatu.

Ditanya soal kendala yang dihadapi selama ini terkait mengerakan literasi, jawabnya tidak ada kendala, tapi kalau tantangan sih sebenarnya menantang diri sendiri lho. 

Perempuan berdarah campuran Atambua Ende ini pun beresan “untuk Generasi Muda NTT, sebenarnya sekarang ini banyak yang sudah mulai bergerak dibidang literasi dan kegiatan sosial lainnya, tapi kita harus lebih bijak mengolah wacana, dan wacana itu kita jangan jadikan momen pencitraan.

Kita hanya jago membuat wacana tapi tanpa ada pelaksanaan, tanpa ada bukti nyata bahwa kita melakukan sesuatu. 

Sebagian anak muda jaman sekarang lebih mengambil momen ini dalam artian tidak semua benar-benar bergerak dengan hati.

Anak-anak muda jaman sekarang tidak boleh mengambil momen-momen di mana momen-momen itu ada sebuah ruang untuk mereka melakukan pencitraan, tegasnya.

Karena ada yang yang tidak punya nama, dan dia melihat orang lain itu punya nama, maka dia berpikir saya harus ada di situ. 

Untuk itu teman-teman muda di NTT jika bisa melakukan sesuatu hal positif, tidak perlu menunggu orang lain harus mendorong tapi dorong diri sendiri, motivasi positif untuk diri sendiri ketika mau melakukan hal yang baik dan itu pasti akan sangat berguna bagi diri sendiri atau orang lain. Yang paling penting yaitu ketika bermanfaat buat  diri sendiri maka akan bermanfaat bagi orang lain juga. 

2017, 2018, 2019 itu momen-momen di mana literasi itu sebuah fenomena dan banyak sekali anak muda yang mau terlibat dan setelah itu sebagian orang mereka mau melakukan itu karena itu hal yang positif mereka akan bertahan, tapi kalau orang-orang yang melakukan itu karena ruang-ruang publik, ruang-ruang pencitraan dan pengakuan maka tidak akan bertahan.

Orang-orang yang bertahan sampai saat ini adalah orang-orang yang lolos seleksi alam. 2017 itu saya koordinator Buku Bagi NTT. Jadi relawan itu sulit juga buat anak-anak sekarang. Tidak semua punya keinginan untuk menjadi relawan karena kita fokus untuk memberi bukan menerima. Jadi sampai sekarang masih koordinator Buku Bagi NTT, dan saya punya program sendiri di Safari Literasi.

Rencananya bulan juli 2021 kemarin itu harusnya ke Sumba NTT, akhirnya menunda ke Agustus lagi, tapi karena pandemi jadi masih direncanakan ke september karena masih PPKM.

Tapi seharusnya Mei itu saya ke Sumba untuk bagi sepatu dan tas karena sudah tiba di Sumba, jadi di tunda lagi sampai PPKM ini berakhir, begitulah secuai cerita singkat soal pergerakan Literasi di NTT dan provinsi lain dari Kota pelajar Jogja.

Trifosa Manek Founder Safari Literasi NTT
Trifosa Perempuan Bertato Indonesia

Wanita cantik dengan tubuh bertato ini juga termasuk dalam Perempuan Bertato Indonesia.

Ditanya mengapa dia suka Tato di tubuh, jawabnya “Kalau tato di badan seseorang yang baik dia akan tetap dinilai sebagai seorang yang baik, kalau tato di tubuh seorang penjahat, dia akan dianggap sebagai penjahat. 

Trifosa Perempuan Bertato Indonesia
Persepsi masyarakat bahwa orang-orang bertato itu adalah sampah masyarakat. Sebenarnya tidak sih. Kembali lagi kepada pribadi-pribadi orang bertato. 

Untuk orang NTT dan saya perempuan NTT, Mama saya orang atambua dan papa saya orang Ende, Saya tidak tahu ada sejarah tato di tempat papa saya tapi saya punya oma di Atambua punya tato. Tato motif-motif adat.

Saya Tahu Sejarah Tato

Wanita suku Belu yang akan dan telah menikah, dahulu secara tradisional akan memakai tato dengan motif tertentu yang melambangkan status sosial mereka (Sumber; Wikipedia)

Motif-motif adat yang di tato di tubuh perempuan timor, apalagi mama saya suku marae, ternyata tato di daratan timor itu tato sebagai status sosial. Kalau untuk Timor itu spesial karena masuk dalam sejarah dunia.

Perempuan kalau dia mentato tubuhnya dalam artian dia sudah menikah atau bersuami atau sudah tidak perawan. Karena kita kan pernah dijajah sama jepang dulu, Tentara jepang tidak akan menyentuh tubuh perempuan bertato karena dia tahu perempuan-perempuan itu sudah bersuami. 

Padah akhirnya perempuan-perempuan Timor lainnya ikut mentato tubuhnya sekalipun dia masih perawan. Jadi itu sebagai bentuk perlindugan diri dan perlawanan mereka terhadap penjajah. 

Kalau mereka tidak menahan sakit untuk di tato maka mereka bersiap untuk diperkosa atau di jadikan budak seks.

Tato Di Tubuh Orang Jahat Dia Akan Tetap Jahat, Tato Di Tubuh Orang Yang Baik Tidak Akan Merubah Dia Menjadi Jahat" tutupnya

Jadi ada sejarahnya tentang tato, hanya tidak semua orang NTT, orang modern pada dasarnya untuk mendapat penerimaan masyarakat terhadap orang bertato tidak mudah.

Bagi yang ingin berdonasi buku inilah alamatnya (Trifosa Evira Manek, Jln. Sunan Kalijaga, No. 34, Beran, Kecamatan Ngawi, Jawa Timur-Indonesia. Contact Person 082242138880, IG. trifosa_eviria)

Penulis: Thom Fallo

1 comment for "Perempuan Bertato Dari NTT Jadi Mesin Penggerak Literasi Di Pelosok Tanah Air Indonesia"